Rabu, 27 April 2016

Teori Gestalt



PEMBAHASAN

A.      Definisi Teori Gestalt
Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan bahwa proses persepsi melalui pengorganisasian suatu komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, dan juga kemiripan bersatu menjadi kesatuan. Teori Gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil.
“Teori Gestalt berpandangan bahwa perkembangan pada dasarnya merupakan proses diferensiasi, dimana yang primer adalah keseluruhan sedangkan yang sekunder adalah bagian-bagian” (Mustiningsih, 2009: 24). Kaitannya dalam hal ini, seseorang mengenal hal-hal yang bersifat umum atau menyeluruh terlebih dahulu sebelum mengenal bagian-bagian. Karena menurut teori ini, manusia pada dasarnya lebih mudah mengenali hal-hal yang berpola atau terorganisir.
Beberapa ciri khas pengertian dari teori Gestalt,  antara lain:
1.        Gestalt merupakan keseluruhan yang berarti/penuh arti
2.        Keseluruhan lebih berarti dari sekedar jumlah dari bagian-bagian
3.        Keseluruhan tidak sama dengan jumlah bagian-bagian
4.        Keseluruhan terdiri dari bagian dari suatu hubungan
5.        Gestalt bersifat totalitet, yakni tiap bagian tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling tergantung dengan yang lain, dan baru dapat berfungsi dengan baik ketika menjadi keseluruhan.

B.       Konsep Teori Gestalt
Teori Gestalt menyatakan bahwa perkembangan itu adalah proses diferensiasi. Dalam proses diferensiasi itu yang primer adalah keseluruhan, sedangkan bagian-bagian adalah sekunder. Bagian-bagian hanya mempunyai arti sebagai bagian daripada keseluruhan dalam hubungan fungsional dengan bagian-bagian yang lainnya. Keseluruhan ada terlebih dahulu baru disusul oleh bagian-bagiannya. Hal ini dipertegas oleh pendapat Soemanto (1998: 225) bahwa “Psikologi Gestalt menyusun belajar itu ke dalam pola-pola tertentu, jadi bukan bagian-bagian”.
Suatu konsep yang penting dalam teori Gestalt adalah tentang insight yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan teori Gestalt, guru tidak memberikan potongan-potongan atau bagian-bagian bahan ajaran, tetapi selalu satu kesatuan yang utuh. Guru memberikan suatu kesatuan situasi atau bahan yang mengandung persoalan-persoalan, dimana anak harus berusaha menemukan hubungan antar bagian, dan memperoleh insight, agar ia dapat memahami keseluruhan situasi atau bahan ajaran tersebut. Insight  itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan seperti “aha” atau “oh, I see now”.
Teori Gestalt berasumsi bahwa manusia pada awalnya bersifat global terhadap objek-objek yang dilihat, karena itu belajar harus dimulai dari keseluruhan, baru kemudian berproses kepada bagian-bagian. Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera seperti mata dan telinga. Berikut hukum pengamatan menurut teori Gestalt, antara lain:
§   Hukum Keterdekatan, artinya yang terdekat merupakan Gestalt.
Hal-hal yang saling berdekatan dalam waktu atau tempat cenderung dianggap sebagai suatu totalitas.
§   Hukum Ketertutupan, artinya yang tertutup merupakan Gestalt.
Hal-hal yang cenderung menutup akan membentuk kesan totalitas tersendiri.
§   Hukum Kesamaan, artinya yang sama merupakan Gestalt.
Hal-hal yang mirip satu sama lain, cenderung kita persepsikan sebagai suatu kelompok atau suatu totalitas.
Suatu hukum yang terkenal dari teori Gestalt yaitu hukum Pragnanz, yang berarti teratur, seimbang, simetri, dan harmonis. Untuk menemukan Pragnanz diperlukan adanya pemahaman atau insight.
a.         Ciri-ciri belajar pemahaman
Berikut enam ciri dari belajar pemahaman menurut Ernest Hilgard, yaitu:
1.        Pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar.
2.        Pemahaman dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang lalu yang relevan.
3.        Pemahaman tergantung kepada pengaturan situasi, sebab insight itu hanya mungkin terjadi apabila situasi belajar itu diatur sedemikian rupa sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati.
4.        Pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, sebab insight bukanlah hal yang dapat jatuh dari langit dengan sendirinya, melainkan adalah hal yang harus dicari.
5.        Belajar dengan pemahaman dapat diulangi, jika sesuatu problem yang telah dipecahkan dengan insight lain kali diberikan lagi kepada pelajar yang bersangkutan, maka dia dengan langsung dapat memecahkan problem itu lagi.
6.        Suatu pemahaman dapat diaplikasikan atau dipergunakan bagi pemahaman situasi lain.

b.        Prinsip belajar dengan teori Gestalt
1.        Manusia bereaksi dengan lingkungannya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya.
2.        Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.
3.        Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala aspek-aspeknya.
4.        Belajar adalah perkembangan kearah diferensiasi ynag lebih luas.
5.        Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight.
6.        Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi memberi dorongan yang mengerakan seluruh organisme.
7.        Belajar akan berhasil kalau ada tujuan.
8.        Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi.

c.         Prinsip dasar teori Gestalt
1.        Interaksi antara individu dan lingkungan disebut sebagai perceptual field
Setiap perceptual field memiliki organisasi, yang cenderung dipersepsikan oleh manusia sebagai figure and ground. Oleh karena itu kemampuan persepsi ini merupakan fungsi bawaan manusia, bukan skill yang dipelajari. Pengorganisasian ini mempengaruhi makna yang dibentuk.
2.        Prinsip-prinsip pengorganisasian:
a.       Principle of Proximity: bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
b.      Principle of Similarity: bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagai suatu figure atau bentuk tertentu.
c.       Principle of Objective Set: Organisasi berdasarkan mental set yang sudah terbentuk sebelumnya.
d.      Principle of Continuity: Organisasi berdasarkan kesinambungan pola.
e.       Principle of Closure/ Principle of Good Form: bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
f.       Principle of Figure and Ground: yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warnadan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
g.      Principle of Isomorphism: Organisasi berdasarkan konteks.

C.      Tokoh yang Mengembangkan Teori Gestalt
Teori ini dibangun oleh tiga orang, Max Wertheimer, Kurt Lewin dan Wolfgang Kohler. Mereka menyimpulkan bahwa seseorang cenderung mempersepsikan apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh.
a.         Max Wertheimer (1880-1943)
Max Wertheimer (1880 – 1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Dari pengamatannya ia menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah, dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian bukan hafalan akademis. Disamping itu, Max Wertheimer juga belajar pada Kuelpe, seorang tokoh aliran Wuerzburg, bersama-sama dengan Wolfgang Koehler (1887-1967) dan Kurt Lewin (1887-1941) melakukan eksperimen yang akhirnya mencetuskan ide Gestalt. Konsep pentingnya yaitu phi phenomenon (bergeraknya obyek statis menjadi rangkaian gerakan yang dinamis setelah dimunculkan dalam waktu singkat dan dengan demikian memungkinkan manusia melakukan interpretasi). Dengan konsep ini, Wertheimer menunjuk pada proses interpretasi dari sensasi obyektif yang kita terima. Proses ini terjadi di otak dan sama sekali bukan proses fisik, tetapi proses mental. Dengan pernyataan ini ia menentang pendapat Wundt yang menunjuk pada proses fisik sebagai penjelasan phi phenomenon.
b.        Wolfgang Kohler (1887 – 1959)
Meneliti tentang insight pada simpanse yaitu mengenai mentalitas simpanse (ape) di pulau Canary. Kurt Lewin (1886 – 1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, dan Kurt Lewin (1892 – 1947) yang mengembangkan suatu teori belajar (cognitif field) dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Penelitian-penelitian mereka menumbuhkan teori Gestalt yang menekankan bahasan pada masalah konfigurasi, struktur, dan pemetaan dalam pengalaman.
c.         Kurt Lewin (1890-1947)
Bertolak dari penemuan Gestalt Psychology, Kurt Lewin mengembangkan suatu teori belajar cognitivefield dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan  psikologi sosial. Kurt Lewin memandang masing-masing individu berada di dalam suatu psikologis dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya orang-orang yang ia jumpai, objek materil yang ia hadapi dan fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki. Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu.


D.      Peristiwa Dalam Percobaan Teori Gestalt
Ada tiga peristiwa dalam percobaan teori Gestalt (Walgito, 2010: 84), antara lain:
1.        Phi phenomena sebagai pengalaman Max Wertheimer
Yang berpusat bahwa apa yang dipersepsi itu merupakan suatu kebulatan, suatu unity atau suatu Gestalt. Psikologi Gestalt semula memang timbul berkaitan dengan masalah persepsi, yaitu pengalaman Wertheimer di stasiun kereta api yang disebutnya sebagai phi phenomena. Dalam pengalaman tersebut sinar yang tidak bergerak dipersepsi sebagai sinar yang bergerak. Walaupun secara objektif sinar itu tidak bergerak, tetapi sinar tersebut dipersepsi sebagai sinar yang bergerak. Dengan demikian, maka dalam persepsi itu ada peran aktif dalam diri perseptor. Ini berarti bahwa dalam individu mempersepsi sesuatu tidak hanya bergantung pada stimulus objektif saja. Tetapi ada aktivitas individu untuk menentukan hasil persepsinya. Apa yang semula terbatas pada persepsi, kemudian berkembang dan berpengaruh pada aspek-aspek lain yaitu antara lain dalam psikologi belajar.
2.        Eksperimen Kohler terhadap Simpanse
Eksperimen Kohler terhadap simpanse yang ditaruhkan dalam sangkar dan makanan ditaruhkan di luar sangkar. Makanan tidak dapat dicapai dengan tangan melulu, tetapi simpanse harus menggunakan stick untuk mencapai makanan. Simpanse mencoba meraih dalam tangan melulu, tetapi ternyata tidak dapat diambil. Simpanse berjalan-jalan dalam sangkar dan melihat ada stick yang dapat digunakan untuk mendapatkan makanan tersebut. Ternyata benar, stick diambil dan dapat digunakan untuk mendapatkan makanan. Dengan melihat stick dan stick ini dapat digunakan untuk mendapatkan makanan diperoleh secara tiba-tiba, inilah yang dimaksud dengan “Aha”. Dalam eksperimen yang lain, untuk mencapai makanan simpanse harus menyambung stick satu dengan yang lain dan ternyata simpanse juga mampu berbuat mengambil makanannya.
3.        Eksperimen Kohler yang berkaitan dengan Problem Solving
Dalam hal ini eksperimen yang dilakukan berkaitan dengan psikologi belajar. Kohler menggunakan simpanse sebagai hewan coba. Menurut Kohler, apabila organisme dihadapkan pada suatu masalah atau problem, maka akan terjadi ketidakseimbangan kognitif, dan ini akan berlangsung sampai masalah tersebut terpecahkan. Karena itu menurut Gestalt, apabila terdapat ketidakseimbangan kognitif, hal ini akan mendorong organisme menuju ke arah keseimbangan. Dalam eksperimennya Kohler sampai pada kesimpulannya bahwa organisme dalam hal ini simpanse dalam memperoleh pemecahan masalahnya diperoleh dengan pengertian atau dengan insight.

E.       Implikasi dan Penerapannya dalam Pembelajaran
1.        Pengalaman tilikan (insight)
Bahwa tilikan (insight) memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2.        Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning)
Kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna  yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3.        Perilaku bertujuan (pusposive behavior)
Bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru harus menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4.        Prinsip ruang hidup (life space)
Bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.


5.        Transfer dalam Belajar
Yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Transfer belajar akan terjadi  apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain.  Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.






 

DAFTAR RUJUKAN

Junaidi. 2010. Teori Gestalt, (online), (http://junaidipiscesguru.blogspot.com/2010/10/teori-gestalt.html), diakses tanggal 14 Februari 2015.

Mustiningsih, 2009. Psikologi Pendidikan. Malang: Jurusan Administrasi Pendidikan FIP Universitas Negeri Malang.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 13 Tahun 2007 tentang guru.

Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Walgito, Bimo. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: CV. Andi Offset.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar